Ada paradigma yang salah beredar di kalangan generasi muda di Indonesia soal nasionalisme. Begitu penilaian Raditya Dika, penulis dan blogger. Nasionalisme dianggapnya hanya tercermin dari simbol bahasa, pakaian yang digunakan, atau jenis buku yang dibaca.
Raditya mengaku hanya memiliki satu baju batik. Namun, dia tidak merasa bahwa dia bukan seorang yang tidak nasionalis hanya karena itu.
Nasionalisme adalah bagaimana menjadi seorang warga dunia tanpa meninggalkan unsur tradisional atau ke-Indonesia-an.
Isu-isu mengenai nasionalisme yang banyak beredar di masyarakat sekarang ini, menurutnya, bukanlah sebuah isu nasionalisme, seperti menggunakan bahasa Inggris atau menyukai buku-buku dari luar negeri. Nasionalisme seharusnya tidak membuat generasi muda menjadi kuper.
Justru dengan keadaan dunia yang sudah tidak memiliki batas geografis ini, Raditya merasa saat ini waktu yang tepat untuk belajar bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar internasional. Dengan demikian seseorang bisa menjadi bagian dari warga dunia tanpa kehilangan identitas ke-Indonesia-annya.
Dia menyarankan generasi muda untuk menguasai bahasa Inggris hingga ke tahap reading comprehensive yang baik. Dengan begitu mereka mempunyai kesempatan yang luas untuk menunjukkan identitas Indonesia yang sebenarnya di mata dunia.
Raditya mengaku selalu bangga menjadi seorang Indonesia ketika berhadapan dengan budaya lain seperti waktu dia kuliah di Australia atau summer course di Belanda. “Nasionalisme lebih kosmopolit dari sekedar simbolsimbol bahasa, pakaian, atau musik,“ ujar penulis buku Kambing Jantan ini.
Contoh nasionalisme yang dimaksud Raditya salah satunya adalah menjadi creator. Dengan bantuan teknologi yang semakin berkembang, generasi muda di Indonesia memiliki kesempatan yang sama dengan orang lain di belahan dunia untuk menjadi seseorang yang dilihat di panggung dunia.
Menurut dia, tekanan globalisasi dan teknologi mengharuskan masyarakat Indonesia untuk menjadi bagian dari masyarakat dunia. Teknologi membuat batasan geografis yang sebelumnya terlihat menjadi tidak kentara. Perkem bangan teknologi diakuinya bisa menjadi wadah yang efektif untuk mengasah dan memupuk nasionalisme.
Serangan budaya luar dan teknologi yang semakin berkembang seharusnya tidak menjadi sesuatu yang ditakuti oleh masyarakat Indonesia. Raditya mengumpamakannya dengan anak-anak zaman sekarang yang lebih menyukai Spongebob Squarepants atau Power Ranger dibanding kan dengan wayang.
Serangan budaya yang terjadi sekarang, menurutnya, harus dibalas dengan kebudayaan juga. Dengan demikian kebudayaan Indonesia bisa menjadi sebuah komoditas yang tidak hanya disukai di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. “Justru itu tantangan generasi sekarang, bagaimana membuat kebudayaan kita seseksi Spongebob atau sekeren Power Ranger.” Bagaimana tanggapannya tentang Sum pah Pemuda? Dia melihatnya sebagai hari di mana pemuda di seluruh Indone sia berkumpul untuk mengucapkan janji Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa.
Di balik nilai historisnya yang tinggi tersebut, Raditya menilai tujuan persatu an pemuda sudah ada dari dahulu dan generasi muda sekarang tidak melupakan bahwa persatuan pemuda adalah sebuah ikatan yang sangat kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar